Sabtu, 10 Agustus 2013
Cinta Datang Terlambat
Aku berusaha untuk tak hiraukan perasaanku yang mulai tumbuh
untuknya. Aku terus mencoba dan mencoba lagi untuk membohongi hatiku. “Aku
tidak mencintainya, aku tidak, aku tidaaaaak !” kata-kata itu terus bergumam
dalam pikiranku. aku tidak bisa mengendalikan ini aku tidak bisa membohongi
diriku sendiri, aku tidak bisa membohongi perasaanku, aku tidak bisa membohongi
hatiku, bahkan aku tidak bisa membohongi teman-temanku. Yaa, sebagai seorang
manusia biasa aku tidak bisa menanggung beban ini seorang diri saja. Seperti
remaja pada umumnya aku membutuhkan yang namanya curhat. Bercerita pada teman
apa yang kau rasakan dan mendengarkan solusi terbaik darinya. Tentu saja itu
akan sedikit meringankan bebanmu, dan kau tahu akan kemana dirimu melangkah
selanjutnya.
Hari ini aku membuka isi tasku
dan membereskan uang yang bukan milikku di dompet. Aku menemukan sebuah benda
yang sangat kuingat siapa pemberinya, bagaimana ia memberikannya, dan sejuta
kejahatanku padanya. Tepat, benda itu darinya. Orang yang telah kusia-siakan,
yang telah kusakiti hatinya, dan orang yang telah lebih memilih dirinya. Aku
mencoba bernostalgia dengan memakai benda itu di jariku. Yaks, benda itu memang
indah tapi entah mengapa aku seperti tidak cocok menggunakannya. Entah memang
aku yang tidak pantas atau memang benda itu bukan ditakdirkan untuk berada pada
jariku? Entahlah, hanya Tuhan-Lah yang tau jawabannya.
Hari ini juga aku memang sangat
dipusingkan dengan kewajiban-kewajibanku sebagai seorang siswa, dan juga aku
ditugaskan untuk mengirim pesan singkat kepada semua orang yang bersangkutan
denganku. Ketika aku baru saja akan mengirim pesan pada temanku yang memiliki
kesamaan nama dengannya. “Bagaimana jika aku juga mengirimkan pesan ini padanya
juga?” Entah darimana ide konyol itu muncul, aku mencoba memikirkan,
membayangkan, dan menimbang apa yang akan terjadi selanjutnya jika aku
melakukan ide gila ini. Tanpa sadar akupun akhirnya memutuskan untuk
melakukannya. Aku sentuh fitur sent
pada ponselku, ada perasaan menyesal setelah aku melakukan hal itu. Ingin
rasanya aku putar ulang waktu dan menghentikan niatku. Tapi apalah daya, nasi
sudah menjadi bubur. Dan sekarang aku hanya bisa menunggu balasan darinya akan
apa yang ku perbuat.
APAAAAA?! Sepertinya mataku
sudah menjadi rabun akibat melihat namanya tertera di layar ponselku. “Tidaaaak
ini nyata !” aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, untuk lebih pasti aku
mencubit kedua pipiku dan memastikan bahwa ini memang kenyataan. Yaaa ini
nyata, dia membalas pesanku dengan belaga polos yang kentara. Aku mencoba
bersikap biasa padanya tapi dia juga bersikap seadanya padaku aku mencoba
memancingnya tapi dia tidak bereaksi. Aku bahkan mengucapkan terima kasih atas
benda darinya meskipun aku tau ini sangatlah terlambat dan memang terlambat.
Sekarang dia dingin, dia biasa, dia tak seperti dulu, diaaa…berubaaaaah. Kini
dia telah berubah, dia tak sehangat dulu, dia tak seperhatian dulu, dia tak
sebaik dulu, Dia telah berubah dan itu menyakitiku…
Tentu saja ini semua bukan hanya
kesalahanku, ini juga salahnya yang terlalu pengecut untuk mengakui
perasaannya, untuk benih-benih cinta yang ia tabur dimana-mana. Tanpa berpikir
panjang apa yang akan menantinya. Aku lelah, aku capek, jika harus terus
menerus menunggu. Coba bayangkan saja. Tidak mudah untuk sms duluan, mengakui
duluan, dan meredam gengsi. Itu seharusnya adalah tugas pria. Hargai walau
sedikit bukannya bilang ‘iya gpapa’. Aku bosan untuk memancing, ingat aku wanita
itu tugas pria. Dimataku dia berarti banyak hal. Keindahan juga kesedihan.
Aku secara sengaja
membuka situs jejaring sosial milikku, dan membuka akun miliknya. Aku melihat
dia yang sudah melupakanku, dan seperti tak ingin mengenalku lagi. Baiklah dia
sudah bisa melupakanku, tapi kenapa aku masih berada dalam bayang-bayang
dirinya. Baiklah, jika dia bisa akupun juga pasti bisa melakukan apa yang dia
perbuat.
Aku sadar dia bukanlah orang terbaik untukku, mungkin dia hanya
persinggahan dalam kehidupanku. Tetapi melupakan itu tidak segampang dengan
teorinya, praktek dari melupakan itu jauh lebih sulit dari apa yang kita
bayangkan. Aku yakin aku pasti bisa melupakannya meskipun itu membutuhkan waktu
yang tidak singkat tentunya.
Sekarang aku yakin,
aku harus lebih mengutamakan masa depanku dibandingkan dengan hal-hal seperti
ini. Dan menghabiskan waktuku untuk yang
lebih berguna dan memikirkan cara agar aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku
yang telah bersusah payah sejak aku lahir sampai sebesar ini.