Kamis, 31 Juli 2014

Sabtu, 10 Agustus 2013
Cinta Datang Terlambat

Aku berusaha untuk tak hiraukan perasaanku yang mulai tumbuh untuknya. Aku terus mencoba dan mencoba lagi untuk membohongi hatiku. “Aku tidak mencintainya, aku tidak, aku tidaaaaak !” kata-kata itu terus bergumam dalam pikiranku. aku tidak bisa mengendalikan ini aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku tidak bisa membohongi perasaanku, aku tidak bisa membohongi hatiku, bahkan aku tidak bisa membohongi teman-temanku. Yaa, sebagai seorang manusia biasa aku tidak bisa menanggung beban ini seorang diri saja. Seperti remaja pada umumnya aku membutuhkan yang namanya curhat. Bercerita pada teman apa yang kau rasakan dan mendengarkan solusi terbaik darinya. Tentu saja itu akan sedikit meringankan bebanmu, dan kau tahu akan kemana dirimu melangkah selanjutnya.
                Hari ini aku membuka isi tasku dan membereskan uang yang bukan milikku di dompet. Aku menemukan sebuah benda yang sangat kuingat siapa pemberinya, bagaimana ia memberikannya, dan sejuta kejahatanku padanya. Tepat, benda itu darinya. Orang yang telah kusia-siakan, yang telah kusakiti hatinya, dan orang yang telah lebih memilih dirinya. Aku mencoba bernostalgia dengan memakai benda itu di jariku. Yaks, benda itu memang indah tapi entah mengapa aku seperti tidak cocok menggunakannya. Entah memang aku yang tidak pantas atau memang benda itu bukan ditakdirkan untuk berada pada jariku? Entahlah, hanya Tuhan-Lah yang tau jawabannya.
                Hari ini juga aku memang sangat dipusingkan dengan kewajiban-kewajibanku sebagai seorang siswa, dan juga aku ditugaskan untuk mengirim pesan singkat kepada semua orang yang bersangkutan denganku. Ketika aku baru saja akan mengirim pesan pada temanku yang memiliki kesamaan nama dengannya. “Bagaimana jika aku juga mengirimkan pesan ini padanya juga?” Entah darimana ide konyol itu muncul, aku mencoba memikirkan, membayangkan, dan menimbang apa yang akan terjadi selanjutnya jika aku melakukan ide gila ini. Tanpa sadar akupun akhirnya memutuskan untuk melakukannya. Aku sentuh fitur sent pada ponselku, ada perasaan menyesal setelah aku melakukan hal itu. Ingin rasanya aku putar ulang waktu dan menghentikan niatku. Tapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Dan sekarang aku hanya bisa menunggu balasan darinya akan apa yang ku perbuat.
                APAAAAA?! Sepertinya mataku sudah menjadi rabun akibat melihat namanya tertera di layar ponselku. “Tidaaaak ini nyata !” aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, untuk lebih pasti aku mencubit kedua pipiku dan memastikan bahwa ini memang kenyataan. Yaaa ini nyata, dia membalas pesanku dengan belaga polos yang kentara. Aku mencoba bersikap biasa padanya tapi dia juga bersikap seadanya padaku aku mencoba memancingnya tapi dia tidak bereaksi. Aku bahkan mengucapkan terima kasih atas benda darinya meskipun aku tau ini sangatlah terlambat dan memang terlambat. Sekarang dia dingin, dia biasa, dia tak seperti dulu, diaaa…berubaaaaah. Kini dia telah berubah, dia tak sehangat dulu, dia tak seperhatian dulu, dia tak sebaik dulu, Dia telah berubah dan itu menyakitiku…
                Tentu saja ini semua bukan hanya kesalahanku, ini juga salahnya yang terlalu pengecut untuk mengakui perasaannya, untuk benih-benih cinta yang ia tabur dimana-mana. Tanpa berpikir panjang apa yang akan menantinya. Aku lelah, aku capek, jika harus terus menerus menunggu. Coba bayangkan saja. Tidak mudah untuk sms duluan, mengakui duluan, dan meredam gengsi. Itu seharusnya adalah tugas pria. Hargai walau sedikit bukannya bilang ‘iya gpapa’. Aku bosan untuk memancing, ingat aku wanita itu tugas pria. Dimataku dia berarti banyak hal. Keindahan juga kesedihan.
                Aku secara sengaja membuka situs jejaring sosial milikku, dan membuka akun miliknya. Aku melihat dia yang sudah melupakanku, dan seperti tak ingin mengenalku lagi. Baiklah dia sudah bisa melupakanku, tapi kenapa aku masih berada dalam bayang-bayang dirinya. Baiklah, jika dia bisa akupun juga pasti bisa melakukan apa yang dia perbuat.
                Aku sadar dia bukanlah orang terbaik untukku, mungkin dia hanya persinggahan dalam kehidupanku. Tetapi melupakan itu tidak segampang dengan teorinya, praktek dari melupakan itu jauh lebih sulit dari apa yang kita bayangkan. Aku yakin aku pasti bisa melupakannya meskipun itu membutuhkan waktu yang tidak singkat tentunya.

                Sekarang aku yakin, aku harus lebih mengutamakan masa depanku dibandingkan dengan hal-hal seperti ini.  Dan menghabiskan waktuku untuk yang lebih berguna dan memikirkan cara agar aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku yang telah bersusah payah sejak aku lahir sampai sebesar ini.